Tanaka membereskan kamarnya pagi itu sebelum ia pergi mengunjungi orang tuanya ke kota hujan, Bogor.
Tanaka, mungkin sedikit dari jenis pria pada umumnya yang biasanya berantakan, tidak terlalu memperhatikan detil.. Ia sebaliknya. Semua hal harus ada pada tempatnya, sendok makan tidak boleh digunakan untuk menyeduh kopi! Ia tidak mau minum kopi kecuali di cangkir atau papercup. Ini harus begini, yang itu tidak boleh begitu.. Mungkin ia banyak memiliki “Do’s and Don’ts List” di hidupnya.
Namanya juga manusia, beda satu dengan yang lain.
Pertanyaannya adalah: Siapa yang bisa tahan dengan Tanaka?
No one would know!
***
Tanaka orang yang simpel. Tidak pernah ribet. Pernah suatu saat pada perjalanan ke Bandara, saya bertanya pada Tanaka:
“Tan, mau kemana?” Tanya saya
“Eh, saya mau ke Bali, mbak..” Jawabnya
Saya yang usil memperhatikan penampilan Tanaka yang lebih terlihat seperti hanya mau “ke depan” daripada mau ke Bali..
“Kamu gak bawa koper, Tan?”
“Gak..”
“Oh.. Berapa hari di Bali, Tan?” Saya memang usil..padahal bukan urusan saya ya!
“Tujuh hari, Mbak.. Mbak sendiri lagi mau kemana?”
Kemudian percakapan berlanjut tanpa pembahasan soal koper atau barang-barang yang lazimnya dibawa oleh orang yang hendak pergi lama.
Kania, teman saya yang juga mengenal Tanaka bercerita bahwa Tanaka itu “raja sampah”. Kania yang aktivis lingkungan sangat geram padanya.
“Dia itu hidupnya gak eco-friendly banget deh, Dam!” Gerutunya soal Tanaka kepada saya.
“Masa ya, dia itu tiap hari nimbun sampah plastik, banyaaak banget, ya piring plastik, styrofoam, papercups, bahkan ya, underwear aja dia pake yang sekali pake!”
Kania meneruskan.
Saya geli mendengarnya. Tapi penasaran saya semakin tinggi. Karena saya memang usil..
Dan pagi ini, saya dan Tanaka ada dalam satu perjalanan ke Bogor. Tanaka yang baik menawarkan untuk pergi bersama ke kota yang terkenal dengan roti unyil nya itu karena dia tahu bahwa saya belum hafal benar daerah di Bogor..
Kali ini saya tidak kaget lagi dengan penampilan seperti “mau pergi ke depan” nya Tanaka, saya sudah lebih akrab dengannya..Tetapi meskipun begitu, soal percakapan, Tanaka bukan “a good starter” jadi selalu saya yang memulai..
“Ke Bogor lagi ada acara apa, Tan kalo boleh tau?”
“Ke rumah orang tua, Mbak. Mbak sendiri mau ngapain ke Highland Resort?”
“Oh, saya ada interview, tapi ya itu lusa, Tan..saya sekarang cuma siap-siap aja, kalau saya diterima ya otomatis saya mesti cari kost-an..”
“Oh gitu, ya kalau memang nanti keterima ya saya bantu cari barangkali ada ya..”
Dia baik juga ya. Saya memperhatikan Tanaka, dia itu ganteng. Kalau saya ibaratkan dengan artis sih, saya pikir dia ini setipe dengan Ramon Tungka!
Ia bicara seperlunya. Bertingkah seadanya.
Tapi saya selalu penasaran, apa sih pekerjaannya?
“Tan..”
“Ya…”
Tanaka yang duduk di dekat jendela bus terlihat kaget saat saya menyapanya lagi..
“Enggak.. Sepi aja Tan, pengen ngobrol..”
“Oh gitu..”
Errrr..
“Kamu kerja dimana, Tan? Kalo boleh saya tau..” Tanya saya.
“Oh..saya kerja dulu tapi, sekarang saya menerima terjemahan bahasa asing, termasuk dokumen bahasa Rusia.”
“Wow! Jago dong bahasa Rusia nya?” Saya memuji..
“Ya tapi kebanyakan yang nerjemahin itu ya Inggris, Perancis.”
Saya kehilangan topik. Tanaka selalu begitu, jarang meneruskan topik yang sedang berlangsung.
“Maaf Tan, kamu dulu kenapa resign dari perusahaan tempat kamu kerja?” Saya melanjutkan percakapan.
“Saya gak bisa Mbak..saya gak bisa terikat dengan kontrak, daripada performa saya buruk ya saya sudahi aja kan..”
“Oh gituuuu..”
“Iya..ada beberapa orang ya pilihan hidupnya begini..saya memilih untuk tidak dikontrak..karena gini, Mbak..saya itu bukan orang yang pintar dalam sesuatu yang melibatkan perasaan..”
“Oh jadi kamu itu orang yang tiba-tiba datang, tiba-tiba pergi, gitu? He he..”
“Ya bolehlah.. I’m just passing.. He he..”
Orang aneh. Diluar sana ribuan orang berebutan mencari kemapanan, mancari sesuatu yang “tetap” untuk kehidupan. Apa yang dipilih Tanaka benar-benar unik..
Saya berpikir, dengan wajah gantengnya, kecerdasannya, seharusnya Tanaka itu sudah punya pacar atau istri. Tapi masa sih tak ada perempuan yang menarik baginya?
“Kamu di Bogor mau ketemu calon istri ya, Tan? He he..” Saya lagi-lagi bertanya pada Tanaka yang kini saya akrab dengan memanggilnya “Tan” saja.
“Gak..”
Dia malah tersenyum melihat saya..
Dan meneruskan kalimatnya,
“Itu yang ditanyakan Ibu saya tiap saya ke Bogor loh, ‘Hei Tanaka, sudah dapat mojang Bandung belum?’ Dia rutin tanya seperti itu..”
“Oh ya? Lalu kamu bilang apa sama Ibu?”
“Saya bilang kalau adik saya mau duluan nikah, ya mangga.. Saya gak bisa cepat-cepat..”
“Oh..belum ada yang cocok ya?”
Ya! Saya akui saya bertanya terlalu jauh.
Dia tidak menjawab, Tanaka hanya tersenyum dan memperhatikan jalanan lagi lewat jendela bus.
***
“Oh gituuuuu..”
“Iya Dam..kasian sih sebenernya ya dia..”
Saya dan Kania memperbincangkan Tanaka lagi pada suatu sore sambil ngopi-ngopi.
“For some people, life punchs them hard at face ya, Kan..” Saya berkomentar..
“Aku awalnya gak simpati sih sama dia, Dam..sebelum tau cerita soal Tanaka..”
..Tanaka adalah seorang pemuda yang sukses, sukses mencari uang dan sukses pula dalam pergaulan. Ia memiliki posisi yang cukup signifikan di kantornya, ia memiliki usaha sampingan yang sukses, dan juga seorang perempuan yang akan ia nikahi..
..Sampai suatu saat, ia menemukan calon istrinya meninggalkannya di hari pernikahannya untuk kawin lari dengan sahabat Tanaka sendiri! Sahabat Tanaka semakan seminum, senasib sepenanggungan!! Double shot untuk Tanaka.
“Cinta itu obatnya ya cinta lagi..” Kata-kata ini tidak berlaku untuk Tanaka yang dalam satu waktu kehilangan dua bunga kepercayaan yang ia tanam pada calon istri dan sahabatnya itu.
Kepercayaan itu mahal.
Perasaan itu berharga.
Perasaan yang terlalu dalam selalu meninggalkan bekas. Seperti noda ampas kopi di cangkir putih.
“Boys don’t cry.. Laki-laki jangan cengeng, jangan menangis..!”
Tapi kan laki-laki juga manusia ya..
Butuh waktu untuk memulai lagi, butuh waktu untuk pulih lagi.
Semua orang mendapati Tanaka yang telah bangkit, tapi ia bukan Tanaka yang dulu. Apa yang ia rasakan sangat merubahnya. Ia seperti bertransformasi menjadi orang yang dirinya sendiripun tak tahu.
Salah satu hal yang menyebabkan seorang manusia berubah adalah sakit yang amat dalam..
Saya hanya mewajarkan hal tersebut. Mungkin diluar sana banyak juga Tanaka yang lain..
***
“Tan.. Kok kamu kamarnya kosong sih? Kamu simpen perabotan dimana?”
Tanya saya pada Tanaka tentang kamar kost-an nya saat saya akan meminjam Dvd “Up in the Air” miliknya..
Ia tersenyum..
“Gak apa-apa, Dam” Yes! Dia menghilangkan panggilan “Mbak” nya terhadap saya.
Dia meneruskan..
“Saya gak suka sesuatu yang bersifat permanen..saya gak mau menanam lagi, takut-takut ‘lahan’ nya salah lagi..”
Ia seperti mengerti bahwa saya ingin tahu, dan saya tahu, kali ini Tanaka ingin berbagi..
“Saya pernah tanam bunga di tanah yang salah..”
“Jadi kamu kapok tanam bunga lagi?”
“Bukan begitu, maksud saya, saya hanya tidak ingin melibatkan perasaan saya lagi. Kalau bukan saya yang jaga, siapa lagi?.. Saya jadi apatis dengan komitmen. Saya tidak mau merasa terbiasa..”
Saya terus mendengarkan..
“Ketika saya terbiasa dengan sesuatu, hal itu akan menjadi candu dan saya akan membutuhkannya setiap waktu.”
“Dan saya, tak tahu apa ada penawar untuk itu..”
“Jadi itu sebabnya kamu hidup dengan barang-barang sekali pakai?”
“….”
“Iya, keterbiasaan itu sakit yang kita pelihara sendiri..mereka mencaci saya kenapa sampah plastik saya banyak..kenapa saya hanya pakai barang yang sekali pakai langsung buang..”
“Itu karena saya tidak mau merawat keterbiasaan, saya tidak ingin menumbuhkan ketergantungan..”
“Intinya, Dam. Dalam hidup di dunia ini, kita hanya numpang lewat, bahkan dalam kehidupan orang-orang sekita kitapun, kita hanya numpang lewat..seperti plastik-plastik itu..”
***
Itulah percakapan terakhir dengan Tanaka yang saya ingat. Kini katanya Tanaka ada di Batam, saya tersenyum bila mengingatnya. Saya tak tahu apa Tanaka ingat saya atau tidak, toh dalam hidup siapapun kita cuma numpang lewat.
Setiap orang punya cara sendiri untuk diingat, dan Tanaka tanpa sadar telah menanam biji kenangan di ingatan saya, karena setiap ada plastik saya pasti ingat Tanaka!
Rambut setengah gondrong, berkulit cerah, 172 cm, berpakaian serba hitam, nyaris tidak membawa apa-apa kecuali handphone.
Dan, hanya memakai sendal jepit.
Itulah Tanaka, sahabat yang lewat sebentar namun meninggalkan satu pelajaran hidup untuk saya.
***